Untuk hal-hal tertentu saya merasa menjadi pembohong. Parahnya saya merasa saya sudah bisa dikategorikan pembohong profesional.
Entah kapan tepatnya, saya mulai lihai berbohong. Bagiku sekarang, cuma butuh beberapa detik untuk memerintah syaraf otak memberikan alasan bohong yang sesuai. Memanipulasi alasan, entah keadaan, untuk ku laporkan berbeda kepada orang lain.
Ku akui saya pembohong. Pembohong kelas mafia yang patut dihukum mati.
Ku jelaskan terlebih dahulu ‘bohong’ apa yang ku maksud. Bohong adalah ketika kau memasang topeng untuk menutupi raut wajahmu yang asli.
Palsu? Jelas! Apa kepalsuan selamanya buruk? Menurutku, itu relatif. Palsu itu relatif.
Apa yang menjadikan kepalsuan relatif? Itu yang ku coba tuturkan disini.
Bayangkan dirimu sudah berlelehkan air mata dan tiba-tiba ponselmu berdering. Ada panggilan dari bundamu yang harus kau jawab. Bengkak matamu memang tak terlihat tapi serak suaramu yang kau permasalahkan. Maka kau pun menormal-normalkan gerak pita suaramu. Sambil penuh harap dalam dadamu agar bundamu tak mendeteksi perubahan nada pada suaramu. Tapi karena intuisi sayang dari bundamu, beliau mempu membaui ketidakberesan pada bunyi yang terdengar dari ponselnya. Dan kau pun berbohong. Tidak tega bundamu merasakan sedih yang kau rasa. Kau mulai memalsukan cerita. Nah, palsumu baik tidak?
Atau imajinasikan kau ada di lingkungan serba ideal. Dikelilingi oleh teman-teman yang baik, saudara yang baik.
nihhh cerita palsu
tapi asli
http://trueloveforme1syou.wordpress.com/2012/03/09/true-story/